Recent Post

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 02 Desember 2019

Petani Data


petani yang sedang panen(sumber gambar: kumparan.com)

Apa yang ada di benak anda saat mendengar kata petani?, menanam padi, menanam sayuran, memanennya. Iya, benar. Seperti itulah pekerjaan seorang petani. Namun dalam hal ini adalah petani tanaman. Apa jadinya jika petani tersebut adalah Petani Data?

Petani Data....?

Apakah itu....?

Sebetulnya Petani Data adalah istilah yang saya buat sendiri. Sebetulnya ada istilah yang lebih relevan dengan apa yang saya maksudkan, yakni Digital Asset Manager (DAM), namun bagi saya istilah DAM tersebut terlalu elegan untuk saya yang masih kuliah S1 Ilmu Perpustakaan (nggak lancar bahasa inggris pula, hehe). Pun karena memang ada beberapa poin yang ingin saya tekankan pada si Petani Data ini.

Sebetulnya jika kita mampu membuka pikiran kita dan melihat sedikit lebih jeli, potensi Petani Data ini bisa ditekuni siapa saja dan kapan saja. Syaratnya adalah memiliki gadget atau laptop, koneksi internet, dan tentunya Digital Literacy Skill (DLS). Gadget atau laptop sebagai media kita untuk mengakses internet. Koneksi internet sebagai bridge, jembatan untuk mengakses source atau kanal informasi yang sering kita kenal dengan Big Data. Dan tentunya, kedua fasilitas tersebut (gadget dan koneksi internet) tidak akan bermanfaat dan menjadikan kita sebagai Petani Data jika tidak bisa menggunakan DLS.

DLS menjadi kunci utama untuk menjadi Petani Data. Seperti yang di awal saya sampaikan, pekerjaan seorang petani adalah untuk menanam, merawat, dan memanen apa yang dia tanam. Namun, beda halnya dengan pekerjaan Petani Data. Petani Data tidak perlu menanam dan merawat. Sumber data yang dia butuhkan sebagai bahan panennya sudah siap. Tinggal bagaimana si Petani Data ini memanen dan mengolahnya dengan sedemikain rupa hingga menjadi sesuatu yang bernilai.

Konsep inilah yang pernah saya pakai untuk membuat bahan tulisan pada salah satu platform berita online. Penasaran dengan tulisan saya?, bisa di simak di 5 Emotikon PalingSering Digunakan di Dunia: Bisa Jadi Pelakunya Anda!. Selamat membaca




Jangan malu untuk menjadi petani :D

Selasa, 26 November 2019

Pemustaka Canggih Tanggap Berita Hoax

(sumber gambar: blogmahasiswakeren.blogspot.com)

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi maka terjadilah yang namanya era keberlimpahan informasi, atau bahasa kerennya adalah Abundance Age. Era keberlimpahan informasi adalah era dimana terjadi banjir informasi. Banjir informasi ini bukan berarti lembaran-lembaran koran membanjiri rumah kita layaknya banjir air. Bukan berarti pula era banjir informasi ini era dimana setiap hari kita digembar-gembor kan dengan informasi (ya benarpun bisa jadi juga seperti ini sih gambarannya).

Era Abundance yang sedang kita hadapi adalah informasi yang tak kasat mata. Jika kita bayangkan kita sedang berada di ruangan kosong dan kita sendirian, padahal sebenarnya kira tidak sendirian. Kita tengah dibanjiri oleh aliran informasi digital yang tak kasat mata dan sedang berseliweran melewati kita. Saat kita membuka koneksi internet melalui laptop, kompoter atau gawai kita, maka seketika banjir itu beralih ke perangkat-perangkat tersebut.

Selanjutnya adalah, ibarat sedang mencari ikan di kolam, kolam yang mulanya jernih dan terlihat ikannya kini dipenuhi dengan sampah. Kolah itu sudah tidak jernih dan pasti kita akan kesulitan untuk menangkap ikan dalam kolam tersebut. Bahkan tidak menurut kemungkinan kita bahkan akan salah sangka yang kita kira ikan ternyata adalah sampah.

Begitu halnya dengan informasi di dunia maya. Karena peningkatan jumlah pengguna smartphone dan pengguna internet yang pada akhirnya  meningkatkan jumlah unggahan status di data cloud, maka terjadilah banjir informasi itu tadi. Ibarat banjir itu membawa sampah karena membawa informasi yang tidak bermanfaat, maka keruhlah kolam itu, dan informasi bermanfaat dan berbobot yang mulanya terlihat jelas menjadi samar dan bahkan bias bercampur dengan informasi sampah.

Oleh karena nya, sebagai pengguna kita harus bisa memilah dan memilih mana informasi yang baik dan valid dan mana yang tidak. Informasi yang baik tanpa ada validasi tak ubahnya berita bohong. Informasi valid tapi tidak baik pun tak ubahnya api yang disulutkan pada sabut yang mudah terbakar. Pengguna yang bijak dan tau cara membedakan informasi yang baik dan valid akan membantu menekan tingkat penyebaran berita hoax.

Sebenarnya ada beberapa langkah sederhana untuk menguji validitas suatu informasi, lebih tepatnya ada delapan langkah yang telah disepakati oleh The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Untuk mempermudah pemahaman tentang 8 langkah bisa juga nih baca di sini.


Kamis, 21 November 2019

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA


Note: Tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan dalam ajang sayembara penulisan esai bulan oktober lalu. Reward nya memang tidak ada sih, pun saya juga tidak terlalu berharap pada materi. Tapi jika semisal tulisan ini diterima maka akan diterbitkan dalam bentuk buku ontologi oleh pihak penyelenggara. Penyelenggaranya juga merupakan penerbit buku yang merayakan hari jadi penerbit tersebut, dan sayembara esai yang mereka adakan mereka maksudkan sebagai salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan literasi di bumi pertiwi. Sayangnya, tulisan saya masih belum cukup bagus, sehingga tidak lolos seleksi. Tapi ketimbang tulisan ini hanya menguap di angan dan hanya "dongkrok" dilaptopku, mending tulisan ini saya post di blog saya. Semalat membaca :) 
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA
Oleh: Khabibul Umam

Pernah suatu ketika saya menuliskan story WA yang agak “nyleneh bin bucin”. “Kutulisakan doaku untukmu”, itulah caption yang saya tuliskan di story WA. Sontak teman-teman yang melihat story saya pada komen. Ada yang komen bucin lah, ada yang kepo soal siapa yang tak maksud “mu” pada caption itu, ada yang “uluh-uluuuh”, dan reaksi-reaksi yang beraneka ragam dari teman saya. Sejenak saya berpikir bukankah wajar jika di usia 20-an dan memasuki semester akhir kita memunculkan sesuatu yang aneh dan unik sebagai upaya untuk menarik perhatian dan pencarian jati diri. Selama tidak bertolak belakang dengan norma agama maunpun norma sosial sah-sah saja kan?!.
Sejenak saya mencoba merenungkan kembali story WA yang sudah saya post, dan muncul sebuah uneg-uneg. “Bukankah tulisan story ini juga bagian dari tulisan yang bisa dikembangkan?!”. Meskipun tulisan story atau disebut juga caption itu dicap sebagai tulisan anak “bucin”, bukankah bahasa syair ataupun pantun seringkali juga terasa alay. Dengan gaya bahasa yang melayang-layang bak dunia milik berdua seorang penyair mampu mencampuradukkan perasaan pembacanya hingga membuat baper.
Umumnya saat kita membuat story bisa lebih dari sekali, bisa jadi sehari tiga kali, lima kali, sepuluh kali, atau bahkan lebih. Baik itu di sosial media WA, IG, Twitter, FB, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebuah peluang?. Coba kita renungkan, semisal tulisan-tulisan sederhana yang kita post di berbagai platform sosial media itu kita kembangkan akan berapa banyak tulisan yang tercipta?. Tak perlu muluk-muluk berlembar-lembar. Untuk sebuah story kita jabarkan cerita yang menyertai kejadian dibalik story itu dalam satu lembar kertas atau 2-3 paragraf saja itu sudah cukup. Dan saat tulisan-tulisan itu kita kumpulkan bukankah akan menjadi sebuah karya yang bisa dibukukan kan?. Iya to?! Iya to?!
Tapi, tunggu dulu, bukankah tulisan caption yang kita post di story hanyalah ungkapan sederhana dan terdakang hanya sebuah jokes. Akankah tulisan yang sepele itu layak untuk menjadi bahan bacaan?. Tentu saja layak!. Mengapa bisa layak?. Bahan bacaan bukanlah semata-mata tulisan yang membahas suatu hal dengan serius dan tajam hingga membuat kepala pening. Adakalanya kita juga membutuhkan bahan bacaan yang ringan dan make fun untuk menyeimbangkan porsi pikiran kita. Pun bukankah banyak bahan bacaan dengan genre humor kan?!.
Justru, bahan bacaan yang ringan dan bernuansa riang merupakan salah satu alternatif upaya menanamkan kebudayaan gemar membaca. Saat kita mampu mengemas jokes atau gurauan kita yang biasanya kita post di story dan menjadikannya bahan bacaan hal ini justru akan mempercepat laju pertumbuhan bahan bacaan bagi masyarakat. Tak perlu berekspektasi terlalu tinggi bahwa seorang penulis buku adalah seorang pemikir tingkat dewa yang mengulas suatu permasalahan setajam “silet”. Percaya dengan kemampuan kita sendiri, jadilah diri sendiri, dan jadikan tulisan yang sederhana itu sebagai bagian dari sedekah kita, knowledge sharing kita.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan bahan bacaan di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal membangun literasi bukan hanya soal semangat untuk membaca. Lebih dari itu, membangun literasi layaknya membangun sebuah rumah. Saat kita akan membangun rumah kita juga perlu modal untuk membangun rumah tersebut. Baik itu material pasir, batu, semen, dan lain sebagainya. Jika kita hanya punya semangat untuk membangun rumah tanpa adanya bahan material tersebut, maka rumah itu selamanya hanya akan menjadi khayalan semata.
Buku sebagai bahan bacaan merupakan salah satu bahan material pokok untuk membangun literasi. Baik itu buku cerita, buku eksiklopedia, bahkan buku mewarnai anak sekalipun. Dengan tersedianya bahan bacaan yang melimpah dan mudah dijangkau daya beli masyarakat terhadap bahan bacaan akan meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah bahan bacaan yang tersedia disekitar kita, baik di rumah, di sekolah, bahkan di pasar sekalipun lambat laun kebudayaan gemar membaca akan terbentuk di masyarakat.
Namun sebelum itu, permasalahan yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adalah siapakah yang akan menulis?. Jika penulis yang diandalkan hanya itu-itu saja sudah pasti akan terjadi penumpukan beban. Perlu adanya regenerasi dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk memperkaya khazanah bahan lliterasi di bumi pertiwi. Tidak harus seorang penulis professional agar bisa menambah kekayaan bahan lietrasi. Siapapun bisa menulis. “Storyku adalah tulisanku”, bisa jadi menjadi sebuah jargon yang menarik untuk menarik penulis-penulis pemula agar mau mempersembahkan karyanya untuk membangun literasi di bumi pertiwi.
Apapun tulisan yang akan kita tulis pastilah tulisan itu akan memiliki makna dan suatu saat akan bermanfaat. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”, maka jangan ragu untuk memulai menulis. Dimulai dengan tulisan-tulisan sederhana dari story kita. Sesederhana dan sesedikit apapun berusahalan untuk tetap menulis. Agar tahap demi tahap menulis akan kita lalui dan suatu saat barulah kita menyadari bahwa kita telah layak untuk mendapat predikat “penulis”.
Tentunya hasil tulisan kita jangan hanya kita simpan di laptop atau di harddisk saja.  Tulisan kita juga perlu untuk kita publikasikan. Salah satu upaya publikasi tersebut adalah melalui penerbitan. Suka tidak suka memang perkembangan industri penerbitan di Indonesia masih belum stabil. Ditambah dengan aturan administratif yang terkadang menghambat proses penerbitan.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada jalan. Salah satu alternatif penerbitan yaitu melalui penerbit indie. Proses administratif dan pendanaan yang bisa disepakati bersama menjadikan penerbitan indie sebagai poros produksi bahan literasi yang patut untuk didukung. Terlebih kita juga bisa menerbitkan tulisan hasil karya kita sendiri. Pastinya akan menjadi suatu kebanggaan apabila kita bisa menerbitkan buku yang mencantumkan nama kita sebagai penulisnya.
Selain untuk media publikasi, penerbitan karya buku juga bertujuan untuk mendaftarkan tulisan kita pada katalog induk milik perpusnas serta melindungi hak cipta tulisan kita. Adanya proses editing, layouting, dan desain cover juga turut membantu mengemas tulisan kita agar lebih menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, apapun tulisan kita jangan ragu untuk mempublikasikannya. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”

Kamis, 14 November 2019

Andaikan Hidupku Adalah Perpustakaan


(sumber gambar: maxmanroe.com)

Pernah suatu ketika saya mendapatkan tugas dari dosen saya untuk mengutarakan uneg-uneg saya soal perpustakaan masa depan. Tugas ini adalah tugas individu, itu artinya teman sekelas saya juga mendapatkan tugas yang sama. Gagasan kami diketik pada selembar  kertas A4, tidak boleh lebih. Dengan line spacing 1,5 pt tentunya hanya akan mengasilkan beberapa paragraph saja, tidak lebih dari 5 paragraf idealnya.

Awalnya saya sempat kebingungan, perpustakaan seperti apa yang akan muncul di masa depan. Batin saya, boro-boro mikir masa depan perpustakaan, masa depan saya dengan orang yang saya taksir aja belum kepikiran, haha. Tapi ya namanya tugas mau gimana lagi, tetep harus dikerjakan.

Karena masih bingung soal konsep “perpustakaan masa depan” kemudian saya buka sosmed, sedekar cek story, cek postingan, like sana like sini. Yang terlintas di benak saya sewaktu saya “bermain” dengan sosial media adalah informasi. “kalau saya sendiri saja sehari ada 10 postingan, 3 postingan di story wa, 2 postingan di story ig, 3 postingan di story fb, 2 postingan di twitter, itu pun kadang bisa lebih, itupun baru saya seorang, itupun baru sehari, atau bahkan baru beberapa jam, bagaimana dengan orang di seluruh dunia. Akan berapa banyak informasi yang tersebar di media sosial tersebut. Dan yang saya pikirkan lagi adalah “informasi”, "bukan kah perpustakaan juga mengelola informasi?”.

Dari situlah ide saya  untuk menuliskan konsep “perpustakaan masa depan” untuk memenuhi tugas kuliah saya tadi.

Judul yang saya berikan untuk tulisan tersebut adalah “Library in Life”. Kemedian konsep yang saya gambarkan di sana adalah dimana setiap saat kita berhadapan dengan informasi, terutama informasi yang tidak terstruktur dari postingan-postingan sosmed tadi. Dan saat data yang tidak terstruktur tersebut kita manfaatkan maka taraaa, jadilah perpustakaan yang terintegrasi dalam kehidupan kita. Ibarat media sosial adalah perpustakaannya, kita adalah pemustaka sekaligus pustakawannya, dan bahan pustakanya adalah postingan itu tadi.

Terdengar aneh memang. Entah dosen saya sepakat dengan tulisan saya apa tidak, hehe. Saya pun juga pernah membuat karya  tulis ilmiah dengan teman pemanfaatan media sosial untuk memenuhi lima tugas pokok perpustakaan, pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi, dan yaa saya di debat oleh juri dan di sangkal “Mas, media sosial itu kan tidak ilmiah, mana mungkin bisa media sosial untuk memenuhi tugas pokok perpustakaan?!!”. “media sosial pada dasarnya adalah media komunikasi Bu, dan di dalam komunikasi itu sendiri apapun bisa kita masukkan, mau ajakan, larangan, bahkan informasi pun jg bisa dimuat di media sosial. Dan melihat pangsa pasarnya yang beragam tentunya akan memperluas layanan dari perpustakaan itu sendiri” kurang lebih itulah jawaban yang saya berikan.

Yaah, namanya juga “andaikan”. Entah benar apa tidak waktulah yang akan menjawab. Sama halnya saat orang beranggapan bahwa besi tidak bisa terbang ataupun terapung di air nyatanya sekarang kemustahilan itu nyata adanya.

Minggu, 03 November 2019

Bookless Library dan Makerspace: Selayang Pandang Perpustakaan Masa Depan


(sumber gambar: en.wikipedia.org)

Saya memposting tulisan ini dengan maksud untuk memberikan stimulant mengenai perpustakaan masa depan. Tujuannya agar pikiran kita tidak hanya stagnan di masa kini atau bahkan masa lalu (Yaah karena mengenang masa lalu itu berat lhur, apalagi kalau ujung-ujung nya “mantan”, beeeeeeeh).

Pada tulisan-tulisan sebelumnya saya lebih banyak menggambarkan keadaan perpustakaan yang ideal pada masa kini. So, apakah kita hanya akan hidup pada masa kini saja?, Tidak kan...!!!, siap tidak siap suka tidak suka kita tengah menuju masa depan. Dan apa yang sudah kita persiapkan untuk menuju masa depan tersebut?. Jangan menjawab dengan jawaban “lihat sikon”, “ngalir aja”, atau bahkan “tidak tahu” (tak Sledding nek jawabanmu kayak gitu -_-).

Masa depan bukanlah sebuah kebetulan. Masa depan adalah perencanaan. Apa yang kita rencanakan dan persiapkan sekarang ini ya itulah masa depan.

Btw pembahasan yang saya post di bawah adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan untuk mengikuti lomba opini dengan tema "Perpustakaan Masa Depan". Dan alhamdulillahnya tulisan itu gagal keluar jadi finalis. Sesuai dengan tulisan saya pada blog Umam Scrip dengan judul  "Tulisan ke-19 ~ Saat kita GAGAL dalam menulisJadi kan tulisan di bawah ini gagal masuk nominasi jadi bisa saya post di sini deh :D, sebagai bahan sharing pada teman-teman PemustaKawan.





berikut adalah pembahasannya. 

Bookless Libraries: Makerspace-nya Kawula Milenial

Oleh: Khabibul Umam
umamkhabibulmade@gmail.com

Era disrupsi yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia mengalami perubahan akibat era disrupsi tersebut. Demikian juga yang terjadi di perpustakaan. Jika dulu kita hanya bisa mengakses perpustakaan saat kita berkunjung ke perpustakaan, di era digital sekarang ini kita bisa mengakses perpustakaan dari manapun, kapanpun, dan dimanapun. Baik melakukan pemesanan koleksi, perpanjangan mandiri, bahkan pada digital library peminjaman koleksi dapat dilakukan via online.
Tidak hanya layanan, koleksi perpustakaan, bahkan pola struktur keorganisasian perpustakaan juga mengalami pergeseran dari manual beralih ke digital. Maka, jangan kaget apabila ada sebuah ruang atau area yang tidak ada bukunya sama sekali namun disebut perpustakaan. Yap. Bisa jadi perpustakaan tersebut mengusung konsep Bookless Library. Dikutip dari en.wikipedia (Bookless library, 2019), “Bookless libraries are public, academic and school libraries that do not have any printed books.”. Bookless Libraries diartikan dengan perpustakaan publik, perpustakaan akademik, atau perpustakaan sekolah yang tidak memiliki koleksi buku cetak. Koleksi cetak perpustakaan digantikan dengan koleksi digital yang disimpan dalam komputer yang disedikan di ruang perpustakaan. Dengan demikian, ruang yang dulunya digunakan untuk meletakkan buku-buku cetak akan kosongkan dan diisi dengan beberapa komputer saja.
Jika semua koleksi cetak perpustakaan dialihkan ke bentuk digital, bukankah ruang perpustakaan akan menjadi luas karena hanya diisi dengan komputer dan perangkat digital lain untuk mengakses koleksi digital? Ya. Lalu area seluas itu akan diapakan? Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka? Akankah memberikan manfaat yang lebih positif daripada perpustakaan konvensional?
Menilik pada tren kawula milenial yang gemar berselancar dan bersosial ria di media sosial tentunya konsep Bookless Libraries akan sangat potensial untuk diterapkan. Mengapa bisa demikian?. Terdapat beberapa alasan kuat yang menjawab pertanyaan tersebut di atas (paragraf 3). Adapun alasan-alasan atau jawaban dari pertanyaan tersebut di atas yaitu sebagai berikut.

Area seluas itu akan diapakan?
Area perpustakaan yang dulunya berupa deretan rak buku diganti dengan meja diskusi, meja kerja, dan area produktif dengan menyediakan seperangkat komputer dengan spesifikasi yang bagus. Selain itu, juga disediakan perangkat pendukung lain seperti speaker, microphone, dan kamera. Dengan tersedianya perlengkapan-perlengkapan tersebut, ruang perpustakaan tersebut akan sangat berpotensi untuk dijadikan area makerspace kawula milenial. Melalui perlengkapan-perlengkapan tersebut kawula milenial dapat membuat video, merekam suara, membuat seni grafis, dan lain sebagainya yang akan mendukung mereka untuk produktif dalam membuat karya digital. Terlebih dengan fasilitas wifi, pastinya mereka akan leluasa dalam mencari ide, membuat, dan menyebarluaskan karya digital mereka.

Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka?
Salah satu tren kawula milenial adalah mencari spot foto yang unik menarik untuk dijadikan background kenarsisan mereka. Istilah trennya adalah instagramable. Bahkan kawula milenial rela bepergian berpuluh-puluh kilometer dengan mengorbankan waktu, bbiaya, dan tenaga hanya untuk dapat bersoto pada spot yang unik dan menarik tersebut. Dengan mengusung konsep Bookless Libraries dan menghias ruang perpustakaan sedemikian unik dan menariknya, tentunya ruang Bookless Libraries tersebut akan berpotensi untuk menjadi salah satu tujuan spot foto kawula milenial. Menurut Sitompul dalam idntimes.com Instagram bagi anak muda zaman sekarang merupakan sosial media paling penting. Banyak sekali anak muda yang sangat memperhatikan feeds instagramnya, foto apa yang harus di post di akun instagramnya supaya kelihatan bagus dan estetik (Sitompul, 2017).

Akankah memberikan manfaat yang lebih positif daripada perpustakaan konvensional?
Konsep makerspace yang diadukan dengan Bookless Libraries tersebut akan memberikan dampak yang lebih signifikan bila dibandingkan dengan perpustakaan konvensional. Dari segi efisiensi ruangan, perpustakaan konvensional hanya berfungsi untuk media penyimpanan koleksi saja, sedanngkan pada Booklees Libraries ruang perpustakaan tidak hanya sekedar tempat menyimpan, namun juga sekaligus tempat untuk membuat atau mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat dari koleksi perpustakaan. Dari segi estimasi dana, perpustakaan konvensional akan selalu membutuhkan banyak dana untuk mengadakan pengembangan koleksi, penambahan rak, dan administrasi pengadaan. Sedangkan pada Bookless Libraries, perpustakaan dapat menambahkan koleksinya dari internet semaksimal mungkin. Koleksi tersebut bisa didapat dari referensi yang open access di internet. Dari segi  pengelolaan, perpustakaan konvensional membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjaga agar koleksi tersebut tetap berada pada posisinya di rak. Sedangkan pada bookless libraries pengelolaan koleksi akan lebih mudah karena tidak perlu mengangkat dan memindahkannya, cukup membuka dan menutup file yang digunakan oleh pemustaka.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, benarlah apabila Bookless Libraries sangat potensial sebagai makerspace-nya kawula milenial. Apabila Bookless Libraries tersebut dapat diterapkan tentunya akan menarik kawula milenial untuk mengunjunginya.



References

Bookless library. (2019, Juli 13). Retrieved September 19, 2019, from Wikipedia: The Free Encyclopedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Bookless_library
Sitompul, A. (2017, juni 23). 5 Alasan Kenapa Coffee Shop Jadi Tempat Nongkrong Favorit Millennials. Retrieved September 19, 2019, from idntimes.com: https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/agifthya-sitompul/coffee-shop-jadi-tempat-nongkrong-millennials-c1c2/full


Selasa, 29 Oktober 2019

Mbah Google juga Per-pusataka-an?!


(sumber gambar: rizkyandika3008.blogspot.com)

#Sama-sama tempat mendapatkan informasi

Dalam UU 43 2007 Tentang Perpustakaan pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa perpustakan memiliki 5 peran fungsi. Yakni untuk bidang pendidikan, penelitian, pelertarian, informasi, dan rekreasi. Oke sekarang kita fokuskan pada peran perpustakaan sebagai penyedia informasi. Generasi milenial sekarang ini pastilah tidak asing dengan aplikasi search engine yang akrab disapa mbah Google. Sesuai dengan jenisnya, search engine, atau istilah indonesianya adalah mesin pencari. Iya mencari. Google membantu kita untuk mencari informasi yang kita butuhkan. Tidak heran kan kalau kita bingung atau tersesat disuatu tempat  dan saat kita malu untuk bertanya dan ndilalah di smartphone kita ada kuota berlimpah, pastilah yang akan menjadi tempat bertanya adalah si mbah google ini.

Lebih-lebih sekarang ini sudah ada banyak aplikasi yang dikembangkan oleh google untuk membantu sekaligus “memanjakan” usernya. Mulai dari search engine google itu sendiri, google calendar, hingga yang paling fenomenal google assistant. Hanya dengan menekan tombol home yang lama maka mbak google assistant akan nongol dan menyapa “Hai…(nama pengguna smartphone), ada yang bisa saya bantu”, dan inginku berkata “iya mbak google, aku jomblo, bantu akuuuh…T_T”, batinku sih tapi. Eh malah oleng.

Oke, kembali ke mbah google. Pada intinya setiap kita membutuhkan informasi, mencari jawaban pertanyaan, mencari contekan bahkan (jangan dibiasakan lhur), yang muncul dibenak kita pertama kali pastilah google.  “digoogling aja” sambil bergumam seperti ini nih.

Lalu, bagaimana dengan perpustakaan?, bukankah sesuai UU 43 2007 Pasal 1 ayat 1 salah satu peran fungsi perpustakaan adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi?, pertanyaannya, sudahkah perpustakaan memenuhi kebutuhan informasi kita?. (Duh, pertanyaannya berat lhur :( )

Idealnya, idealnya ya, perpustakaan merupakan lembaga yang bisa kita mintai untuk memenuhi kebutuhan informasi yang kita butuhkan, menjawab pertanyaan yang kita pertanyakan, dan memberikan arahan atau saran bagaimana baiknya keputusan yang kita ambil atas permasalahan kita. Tapi realitanya belum demikian. Perpustakaan masih disibukkan dengan pengembangan koleksi cetak ataupun digital, pengelolaan koleksi, urusan administrasi untuk akreditasi bahkan. Dan suka tidak suka, perpustakaan sebagai lembaga formal pastilah memiliki aturan administrasinya sendiri, tidak bisa kog perpustakaan itu menata atau mengembangkan koleksinya secara sembarangan, atau membuat laporan administratif yang sembarangan.

Realitanya, sepengamatan mata saya perpustakaan masih dalam tahap untuk bagaimana pemustaka atau masyarakat suka untuk berkunjung ke perpustakaan, atau kalaupun belum ke arah berkunjung minimal menanamkan suka dengan perpustakaan dulu. Dan ini bukanlah langkah yang salah.

Mengapa demikian?

Sekarang kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Kenapa kita lebih memilih untuk menggunakan google daripada perpustakaan?. Alasan yang akan kita utarakan pasti tidak jauh dari praktis, efisien, cepat, update, bisa dilakukan kapanpun dimanapun, bisa diakses dengan smartphone, tablet, computer atau PC”, sebab saya pun juga berpikir demikian. Dan lagi saat kita punya pertanyaan yang ingin dijawab pastilah yang akan kita tanyai dulu adalah google, ya kan?!. Pun kalaupun kita menanyakan atau mencarinya ke perpustakaan ya ujung-ujungnya googling lagi.

Meskipun demikian, baik perpustakaan maupun google sebagai penyedia informasi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masin-masing. Jika kelebihan google sepeti saya jabarkan pada paragraf di atas paragraf ini, maka kelebihan perpustakaan sebagai penyedia informasi diantaranya sebagai berikut.

1. Pustakawan, saat kita mencari informasi di perpustakaan tapi kita tidak bisa menemukan jawabannya karena mencari sendiri, kita tak ubahnya ikan yang kehausan dikolam. Manfaatkan fasilitas yang ada  di perpustakaan, pustakawan pun juga bisa kita mintai bantuan. Eh btw pustakawan itu apa?. Sederhanaya pustakawan adalah seorang ahli yang punya backround pendidikan formal maupun pelatihan dibidang kepustakaan. Bahasa tsadis nya sebut saja penjaga perpus :(. Kemampuan kita saat mencari informasi pastilah akan berbeda dengan kemampuan pustakawan saat mencari informasi. Kalau kita nyari di google kan g ada pustakawannya, apa iya kita mau nanya admin belakang layarnya google. hee

2. Kawan diskusi. Iya sih kita bisa mencari jawaban sendiri dari google, tapi biasanya, bahkan saya sendiri seringnya juga begitu, saat mencari informasi di google kita pasti sendiri. Jarang kita lakukan dengan teman se-genk. Saat kita mencari informasi diperpustakaan, pastilah ada banyak teman dan orang yang bisa kita ajak diskusi untuk memperdalam informasi  yang kita dapat. Baik dengan adik kelas, kakak kelas, dengan guru atau dosen, atau bahkan dengan pustakawan itu sendiri sekalipun.

3. Hemat kuota. Perpustakaan jaman sekarang ga ada wifi atau wifinya lelet, hmmm, pastilah perpusnya sepi, haha. Hotspot area merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi kalangan milenial untuk berkunjung ke perpustakaan. Meskipun tidak seberapa, tapi lumayan lah untuk menghemat kuota, apalagi untuk kalangan anak kos.

Oke, sampai sini sudah tau kan kelebihan masing-masing, baik google maupun perpustakaan.

Sudah selesai kah pembahasannya?!

Eh beluuuum, jawaban dari judul bagian ini belum  kejawab tuh. Hehe

Apakah google juga perpustakaan?

Menurut pandangan liar saya, google (sebagai search engine) bukan perpustakaan. Jika kita memaknai perpustakaan sebagai tempat penyimpanan dan pengelola informasi atau pengetahuan, maka jika di dalam konteks google ya database google nya itulah perpustakaannya. Google ibarat pustakawan yang membantu kita untuk mencari informasi. Lalu, bukankah berarti google itu  sama dengan pustakawan?. Kembali saya menggunakan pendapat liar saya, tidak juga. Pustakawan adalah sebuah jabatan yang didalamnya ada tanggungjawab moral yang perlu diamalkan. Sedangkan google adalah sebuah alat. Idealnya google itu sendiri merupakan tools pembantu untuk pustakawan. Maka sangat tidak etis apabila menyatakan bahwa google lebih dari pustakawan ataupun perpustakaan. Pun diawal pengembangannya apakah google diciptakan untuk menyaingi perpustakaan atau pustakawan?, tidak kan?!. Oleh karena itu google degan perpustakaan dan pustakawan tidak bisa dibandingkan karena keduanya adalah dua hal yang berbeda namun bisa saling bersinergi untuk menguatkan satu sama lain.

"Google sebagai tool untuk mencari informasi dan pustakawan sebagai operator dari google itu sendiri dengan kemampuannya memaksimalkan manfaat search engine google."



Tentunya akan sangat bagus ya jika idealisme ini bisa menjadi kenyataan…. :D

Senin, 28 Oktober 2019

Per-Pustaka-an


(sumber gambar: freerangestock.com)

Mengenakan seragam merah putih, saat jam istirahat, atau saat diminta guru mengambil buku paket. Yah, sejak SD kita sudah kenal dengan per-pustaka-an. Sesederhana apapun sekolah kita dulu pasti ada per-pustaka-an. Atau kalaupun tidak ada bentuknya, alias cuma plang nama per-pustaka-an pastilah ada. Sebab perpustakaan merupakan salah satu sarana wajib penyelenggaraan pendidikan formal. Yah meskipun sesuatu yang wajib itu sering kali masih dipandang sebelah mata.
Oke, sekarang, saat kita ditanya apa yang tergambar dibenak kita saat ditanya “apa itu per-pustaka-an?”. Buku, bangunan, ruang, tempat menyimpan buku. Benar, ya memang benar!, tapi tidak sesederhana itu. Kembali merujuk pada UU No 43 tahun 2007 Tentang Perpustakaan, dalam pasal 1 ayat 1, Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. 
Nah, setelah mengenal perpustakaan secara yuridis, mari kita ulas secara liar. Sopo toh si per-pustaka-an iku?!. Berkuliah di prodi Ilmu Perpustakaan Fakultasa Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memberikan perspektif baru bagi saya dalam memaknai si per-pustaka-an ini. Bagi orang yang masih awal mengenal prodi ini memang dan pasti kebanyakan merasa bingung, “perpustakaan kog ada ilmunya, emang apa sih yang dipelajari?!, toh pekerjaannya kan noto(menata dalam bahasa Jawa) buku?!, bahkan sampai ada yang menulis opini di blog mengenai reaksi orang saat mengetahui prodi ilmu perpustakaan.
Kembali ke pembahasan per-pustaka-an dari sudut pandang liar. Physicly (secara fisik), memang benar bahwa perpustakaan mengelola buku—Catat, mengelola, bukan hanya sekedar menata, itu artinya buku  itu diberdayakan agar bermanfaat, tidak hanya sekedar dipajang di rak—namun secara tersirat, lebih dari itu,  per-pustaka-an hakikatnya mengelola ilmu pengetahuan (Knowledge Management). Bukankah materi yang dimuat di buku dalam bentuk tulisan itu adalah ilmu pengetahuan?. Tidak mengherankan jika ada pernyataan “buku adalah jendela dunia”. Sebab dengan membaca maka kita akan mendapatkan pengetahuan, wawasan baru yang terkandung didalam buku itu sendiri.
Selain itu,...

 —pembahasannya dilanjut pada bagian selanjutnya, hehe—

Aku Seorang Pemustaka(Wan)


(sumber gambar: travel.dream.co.id)

#Berlibur ke Perpustakaan

Saat kita akan berlibur dan ingin hang out ke suatu tempat, pastinya tempat yang akan kita kunjungi tidak jauh dari gunung, pantai, mall mungkin. Bagaimana kalau saya ajak anda untuk mengisi masa liburan anda dengan berkunjung ke perpustakaan. Hmmm, bisa po berlibur ke perpustakaan?, emang di perpustakaan bisa apa?, nggak ada tempat bermainnya tuh?
Ya, saya sepakat dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Kog bisa rekreasi ke perpustakaan?!. Bukannya dapat liburan, bisa jadi malah dapat teguran dari pustakawan. Dan itu mungkin. Bahkan sangat mungkin.
Paradigma bahwa perpustakaan adalah tempat yang sakral masih benar-benar melekat di benak kita. Aktivitas yang bisa kita lakukan di perpustakaan tidak lain dari membaca buku, pinjam buku, ngerjakan tugas, skripsian, atau untuk perpustakaan yang jarang pengunjungnya buat rehat, bobok siang, lari dari pelajaran guru mapel yang tidak disukai (karena dulu pun saya juga begitu, Haha).
Tapi tahukah anda, perpustakaan sebagai tempat rekreasi merupakan hal yang sangat mungkin ada, bahkan bisa jadi prioritas perpustakaan. Bahkan peran perpustakaan sebagai wahana rekreasi ini telah diundangkan. Tepatnya pada Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan pasal 1, ayat 1. Lebih jelasnya di dalam pasal 1 ayat 1 UU No 43 ’07 tersebut dijelaskah bahwa peran fungsi perpustakaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan juga rekreasi.
Oke, tapi pada kenyataannya kenapa perpustakaan masih terasa “sakral” dan “kurang rekreatif”. Kenyataan terkadang beda dari idealisme. UU 43 ’07 tersebut merupakan idealisme terhadap perpustakaan. Oleh karenanya penerapan UU tersebut tidak hanya melulu tanggungjawab pemerintah, pustakawan, ataupun guru saja, tapi semua elemen masyarakat juga perlu ikut andil dalam membangun paradigma perpustakaan yang nyaman dan menyenangkan untuk dikunjungi.
Tahu kenapa?, karena kita adalah PemustakaWan
Pemustaka adalah seseorang atau kelompok masyarakat yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan (UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan pasal 1 ayat 9)
Yuk, jadi pemustaka yang baik :)