(sumber gambar: en.wikipedia.org)
Saya memposting tulisan ini
dengan maksud untuk memberikan stimulant mengenai perpustakaan masa depan. Tujuannya
agar pikiran kita tidak hanya stagnan di masa kini atau bahkan masa lalu (Yaah karena
mengenang masa lalu itu berat lhur, apalagi kalau ujung-ujung nya “mantan”,
beeeeeeeh).
Pada tulisan-tulisan sebelumnya
saya lebih banyak menggambarkan keadaan perpustakaan yang ideal pada masa kini.
So, apakah kita hanya akan hidup pada masa kini saja?, Tidak kan...!!!, siap tidak
siap suka tidak suka kita tengah menuju masa depan. Dan apa yang sudah kita persiapkan
untuk menuju masa depan tersebut?. Jangan menjawab dengan jawaban “lihat sikon”,
“ngalir aja”, atau bahkan “tidak tahu” (tak Sledding nek jawabanmu kayak gitu
-_-).
Masa depan bukanlah sebuah
kebetulan. Masa depan adalah perencanaan. Apa yang kita rencanakan dan
persiapkan sekarang ini ya itulah masa depan.
Btw pembahasan yang saya post
di bawah adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan untuk mengikuti lomba
opini dengan tema "Perpustakaan Masa Depan". Dan alhamdulillahnya tulisan itu
gagal keluar jadi finalis. Sesuai dengan tulisan saya pada blog Umam Scrip dengan judul "Tulisan ke-19 ~ Saat kita GAGAL dalam menulis" Jadi kan tulisan di bawah ini gagal masuk nominasi jadi bisa saya
post di sini deh :D, sebagai bahan sharing pada teman-teman PemustaKawan.
Bookless Libraries: Makerspace-nya Kawula Milenial
Oleh: Khabibul
Umam
umamkhabibulmade@gmail.com
Era
disrupsi yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi memberikan dampak
yang signifikan bagi kehidupan manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia
mengalami perubahan akibat era disrupsi tersebut. Demikian juga yang terjadi di
perpustakaan. Jika dulu kita hanya bisa mengakses perpustakaan saat kita
berkunjung ke perpustakaan, di era digital sekarang ini kita bisa mengakses
perpustakaan dari manapun, kapanpun, dan dimanapun. Baik melakukan pemesanan
koleksi, perpanjangan mandiri, bahkan pada digital
library peminjaman koleksi dapat dilakukan via online.
Tidak
hanya layanan, koleksi perpustakaan, bahkan pola struktur keorganisasian
perpustakaan juga mengalami pergeseran dari manual beralih ke digital. Maka,
jangan kaget apabila ada sebuah ruang atau area yang tidak ada bukunya sama
sekali namun disebut perpustakaan. Yap. Bisa jadi perpustakaan tersebut
mengusung konsep Bookless Library.
Dikutip dari en.wikipedia (Bookless library, 2019), “Bookless libraries are
public, academic and school libraries that do not have any printed
books.”. Bookless
Libraries diartikan dengan
perpustakaan publik, perpustakaan akademik, atau perpustakaan sekolah yang
tidak memiliki koleksi buku cetak. Koleksi cetak perpustakaan digantikan dengan
koleksi digital yang disimpan dalam komputer yang disedikan di ruang
perpustakaan. Dengan demikian, ruang yang dulunya digunakan untuk meletakkan
buku-buku cetak akan kosongkan dan diisi dengan beberapa komputer saja.
Jika
semua koleksi cetak perpustakaan dialihkan ke bentuk digital, bukankah ruang
perpustakaan akan menjadi luas karena hanya diisi dengan komputer dan perangkat
digital lain untuk mengakses koleksi digital? Ya. Lalu area seluas itu akan
diapakan? Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka? Akankah memberikan
manfaat yang lebih positif daripada perpustakaan konvensional?
Menilik pada tren
kawula milenial yang gemar berselancar dan bersosial ria di media sosial
tentunya konsep Bookless Libraries
akan sangat potensial untuk diterapkan. Mengapa bisa demikian?. Terdapat
beberapa alasan kuat yang menjawab pertanyaan tersebut di atas (paragraf 3).
Adapun alasan-alasan atau jawaban dari pertanyaan tersebut di atas yaitu
sebagai berikut.
Area seluas itu akan diapakan?
Area
perpustakaan yang dulunya berupa deretan rak buku diganti dengan meja diskusi,
meja kerja, dan area produktif dengan menyediakan seperangkat komputer dengan
spesifikasi yang bagus. Selain itu, juga disediakan perangkat pendukung lain
seperti speaker, microphone, dan kamera. Dengan tersedianya
perlengkapan-perlengkapan tersebut, ruang perpustakaan tersebut akan sangat
berpotensi untuk dijadikan area makerspace
kawula milenial. Melalui perlengkapan-perlengkapan tersebut kawula milenial
dapat membuat video, merekam suara, membuat seni grafis, dan lain sebagainya
yang akan mendukung mereka untuk produktif dalam membuat karya digital.
Terlebih dengan fasilitas wifi, pastinya mereka akan leluasa dalam mencari ide,
membuat, dan menyebarluaskan karya digital mereka.
Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka?
Salah
satu tren kawula milenial adalah mencari spot foto yang unik menarik untuk
dijadikan background kenarsisan mereka. Istilah trennya adalah instagramable. Bahkan kawula milenial
rela bepergian berpuluh-puluh kilometer dengan mengorbankan waktu, bbiaya, dan
tenaga hanya untuk dapat bersoto pada spot yang unik dan menarik tersebut.
Dengan mengusung konsep Bookless
Libraries dan menghias ruang perpustakaan sedemikian unik dan menariknya,
tentunya ruang Bookless Libraries tersebut akan berpotensi untuk
menjadi salah satu tujuan spot foto kawula milenial. Menurut Sitompul dalam
idntimes.com Instagram bagi anak muda zaman sekarang merupakan sosial
media paling penting. Banyak sekali anak muda yang sangat memperhatikan feeds instagramnya,
foto apa yang harus di post di akun
instagramnya supaya kelihatan bagus dan estetik (Sitompul, 2017).
Akankah memberikan manfaat yang lebih positif
daripada perpustakaan konvensional?
Konsep
makerspace yang diadukan dengan Bookless Libraries tersebut akan memberikan dampak yang lebih signifikan
bila dibandingkan dengan perpustakaan konvensional. Dari segi efisiensi
ruangan, perpustakaan konvensional hanya berfungsi untuk media penyimpanan
koleksi saja, sedanngkan pada Booklees
Libraries ruang perpustakaan tidak
hanya sekedar tempat menyimpan, namun juga sekaligus tempat untuk membuat atau
mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat dari koleksi perpustakaan. Dari segi
estimasi dana, perpustakaan konvensional akan selalu membutuhkan banyak dana
untuk mengadakan pengembangan koleksi, penambahan rak, dan administrasi
pengadaan. Sedangkan pada Bookless
Libraries, perpustakaan dapat menambahkan koleksinya dari internet semaksimal mungkin. Koleksi
tersebut bisa didapat dari referensi yang open
access di internet. Dari
segi pengelolaan, perpustakaan
konvensional membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjaga agar koleksi
tersebut tetap berada pada posisinya di rak. Sedangkan pada bookless libraries
pengelolaan koleksi akan lebih mudah karena tidak perlu mengangkat dan
memindahkannya, cukup membuka dan menutup file yang digunakan oleh pemustaka.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, benarlah apabila Bookless
Libraries sangat potensial sebagai makerspace-nya kawula milenial. Apabila Bookless Libraries tersebut dapat diterapkan tentunya akan menarik kawula
milenial untuk mengunjunginya.
References
Bookless library. (2019, Juli 13). Retrieved September 19, 2019, from Wikipedia: The Free
Encyclopedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Bookless_library
Sitompul, A. (2017, juni 23). 5 Alasan Kenapa Coffee Shop
Jadi Tempat Nongkrong Favorit Millennials. Retrieved September 19, 2019,
from idntimes.com:
https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/agifthya-sitompul/coffee-shop-jadi-tempat-nongkrong-millennials-c1c2/full
0 komentar:
Posting Komentar