Note: Tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan dalam ajang sayembara penulisan esai bulan oktober lalu. Reward nya memang tidak ada sih, pun saya juga tidak terlalu berharap pada materi. Tapi jika semisal tulisan ini diterima maka akan diterbitkan dalam bentuk buku ontologi oleh pihak penyelenggara. Penyelenggaranya juga merupakan penerbit buku yang merayakan hari jadi penerbit tersebut, dan sayembara esai yang mereka adakan mereka maksudkan sebagai salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan literasi di bumi pertiwi. Sayangnya, tulisan saya masih belum cukup bagus, sehingga tidak lolos seleksi. Tapi ketimbang tulisan ini hanya menguap di angan dan hanya "dongkrok" dilaptopku, mending tulisan ini saya post di blog saya. Semalat membaca :)
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA
Oleh: Khabibul Umam
Pernah suatu ketika
saya menuliskan story WA yang agak “nyleneh bin bucin”. “Kutulisakan doaku
untukmu”, itulah caption yang saya
tuliskan di story WA. Sontak
teman-teman yang melihat story saya
pada komen. Ada yang komen bucin lah, ada yang kepo soal siapa yang tak maksud
“mu” pada caption itu, ada yang “uluh-uluuuh”, dan reaksi-reaksi yang
beraneka ragam dari teman saya. Sejenak saya berpikir bukankah wajar jika di usia
20-an dan memasuki semester akhir kita memunculkan sesuatu yang aneh dan unik
sebagai upaya untuk menarik perhatian dan pencarian jati diri. Selama tidak
bertolak belakang dengan norma agama maunpun norma sosial sah-sah saja kan?!.
Sejenak saya mencoba merenungkan
kembali story WA yang sudah saya post, dan muncul sebuah uneg-uneg.
“Bukankah tulisan story ini juga
bagian dari tulisan yang bisa dikembangkan?!”. Meskipun tulisan story atau disebut juga caption itu dicap sebagai tulisan anak “bucin”,
bukankah bahasa syair ataupun pantun seringkali juga terasa alay. Dengan gaya
bahasa yang melayang-layang bak dunia milik berdua seorang penyair mampu
mencampuradukkan perasaan pembacanya hingga membuat baper.
Umumnya saat kita
membuat story bisa lebih dari sekali,
bisa jadi sehari tiga kali, lima kali, sepuluh kali, atau bahkan lebih. Baik
itu di sosial media WA, IG, Twitter, FB, dan lain sebagainya. Bukankah ini
sebuah peluang?. Coba kita renungkan, semisal tulisan-tulisan sederhana yang
kita post di berbagai platform sosial media itu kita
kembangkan akan berapa banyak tulisan yang tercipta?. Tak perlu muluk-muluk
berlembar-lembar. Untuk sebuah story
kita jabarkan cerita yang menyertai kejadian dibalik story itu dalam satu lembar kertas atau 2-3 paragraf saja itu sudah
cukup. Dan saat tulisan-tulisan itu kita kumpulkan bukankah akan menjadi sebuah
karya yang bisa dibukukan kan?. Iya to?! Iya to?!
Tapi, tunggu dulu, bukankah
tulisan caption yang kita post di story hanyalah ungkapan sederhana dan terdakang hanya sebuah jokes. Akankah tulisan yang sepele itu
layak untuk menjadi bahan bacaan?. Tentu saja layak!. Mengapa bisa layak?.
Bahan bacaan bukanlah semata-mata tulisan yang membahas suatu hal dengan serius
dan tajam hingga membuat kepala pening. Adakalanya kita juga membutuhkan bahan
bacaan yang ringan dan make fun untuk
menyeimbangkan porsi pikiran kita. Pun bukankah banyak bahan bacaan dengan
genre humor kan?!.
Justru, bahan bacaan
yang ringan dan bernuansa riang merupakan salah satu alternatif upaya
menanamkan kebudayaan gemar membaca. Saat kita mampu mengemas jokes atau gurauan kita yang biasanya
kita post di story dan menjadikannya bahan bacaan hal ini justru akan
mempercepat laju pertumbuhan bahan bacaan bagi masyarakat. Tak perlu
berekspektasi terlalu tinggi bahwa seorang penulis buku adalah seorang pemikir
tingkat dewa yang mengulas suatu permasalahan setajam “silet”. Percaya dengan
kemampuan kita sendiri, jadilah diri sendiri, dan jadikan tulisan yang
sederhana itu sebagai bagian dari sedekah kita, knowledge sharing kita.
Tidak dapat dipungkiri
bahwa ketersediaan bahan bacaan di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal
membangun literasi bukan hanya soal semangat untuk membaca. Lebih dari itu,
membangun literasi layaknya membangun sebuah rumah. Saat kita akan membangun
rumah kita juga perlu modal untuk membangun rumah tersebut. Baik itu material
pasir, batu, semen, dan lain sebagainya. Jika kita hanya punya semangat untuk
membangun rumah tanpa adanya bahan material tersebut, maka rumah itu selamanya
hanya akan menjadi khayalan semata.
Buku sebagai bahan
bacaan merupakan salah satu bahan material pokok untuk membangun literasi. Baik
itu buku cerita, buku eksiklopedia, bahkan buku mewarnai anak sekalipun. Dengan
tersedianya bahan bacaan yang melimpah dan mudah dijangkau daya beli masyarakat
terhadap bahan bacaan akan meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
bacaan yang tersedia disekitar kita, baik di rumah, di sekolah, bahkan di pasar
sekalipun lambat laun kebudayaan gemar membaca akan terbentuk di masyarakat.
Namun sebelum itu,
permasalahan yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adalah siapakah yang
akan menulis?. Jika penulis yang diandalkan hanya itu-itu saja sudah pasti akan
terjadi penumpukan beban. Perlu adanya regenerasi dan partisipasi aktif dari
semua pihak untuk memperkaya khazanah bahan lliterasi di bumi pertiwi. Tidak
harus seorang penulis professional agar bisa menambah kekayaan bahan lietrasi.
Siapapun bisa menulis. “Storyku
adalah tulisanku”, bisa jadi menjadi sebuah jargon yang menarik untuk menarik
penulis-penulis pemula agar mau mempersembahkan karyanya untuk membangun
literasi di bumi pertiwi.
Apapun tulisan yang
akan kita tulis pastilah tulisan itu akan memiliki makna dan suatu saat akan
bermanfaat. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”, maka jangan ragu untuk
memulai menulis. Dimulai dengan tulisan-tulisan sederhana dari story kita. Sesederhana dan sesedikit
apapun berusahalan untuk tetap menulis. Agar tahap demi tahap menulis akan kita
lalui dan suatu saat barulah kita menyadari bahwa kita telah layak untuk
mendapat predikat “penulis”.
Tentunya hasil tulisan
kita jangan hanya kita simpan di laptop atau di harddisk saja. Tulisan kita
juga perlu untuk kita publikasikan. Salah satu upaya publikasi tersebut adalah
melalui penerbitan. Suka tidak suka memang perkembangan industri penerbitan di
Indonesia masih belum stabil. Ditambah dengan aturan administratif yang
terkadang menghambat proses penerbitan.
Meskipun demikian,
bukan berarti tidak ada jalan. Salah satu alternatif penerbitan yaitu melalui
penerbit indie. Proses administratif dan pendanaan yang bisa disepakati bersama
menjadikan penerbitan indie sebagai poros produksi bahan literasi yang patut
untuk didukung. Terlebih kita juga bisa menerbitkan tulisan hasil karya kita
sendiri. Pastinya akan menjadi suatu kebanggaan apabila kita bisa menerbitkan
buku yang mencantumkan nama kita sebagai penulisnya.
Selain untuk media
publikasi, penerbitan karya buku juga bertujuan untuk mendaftarkan tulisan kita
pada katalog induk milik perpusnas serta melindungi hak cipta tulisan kita.
Adanya proses editing, layouting, dan desain cover juga turut
membantu mengemas tulisan kita agar lebih menarik untuk dibaca. Oleh karena
itu, apapun tulisan kita jangan ragu untuk mempublikasikannya. “Karena setiap
tulisan adalah istimewa”
0 komentar:
Posting Komentar