Recent Post

Kamis, 21 November 2019

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA


Note: Tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan dalam ajang sayembara penulisan esai bulan oktober lalu. Reward nya memang tidak ada sih, pun saya juga tidak terlalu berharap pada materi. Tapi jika semisal tulisan ini diterima maka akan diterbitkan dalam bentuk buku ontologi oleh pihak penyelenggara. Penyelenggaranya juga merupakan penerbit buku yang merayakan hari jadi penerbit tersebut, dan sayembara esai yang mereka adakan mereka maksudkan sebagai salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan literasi di bumi pertiwi. Sayangnya, tulisan saya masih belum cukup bagus, sehingga tidak lolos seleksi. Tapi ketimbang tulisan ini hanya menguap di angan dan hanya "dongkrok" dilaptopku, mending tulisan ini saya post di blog saya. Semalat membaca :) 
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA
Oleh: Khabibul Umam

Pernah suatu ketika saya menuliskan story WA yang agak “nyleneh bin bucin”. “Kutulisakan doaku untukmu”, itulah caption yang saya tuliskan di story WA. Sontak teman-teman yang melihat story saya pada komen. Ada yang komen bucin lah, ada yang kepo soal siapa yang tak maksud “mu” pada caption itu, ada yang “uluh-uluuuh”, dan reaksi-reaksi yang beraneka ragam dari teman saya. Sejenak saya berpikir bukankah wajar jika di usia 20-an dan memasuki semester akhir kita memunculkan sesuatu yang aneh dan unik sebagai upaya untuk menarik perhatian dan pencarian jati diri. Selama tidak bertolak belakang dengan norma agama maunpun norma sosial sah-sah saja kan?!.
Sejenak saya mencoba merenungkan kembali story WA yang sudah saya post, dan muncul sebuah uneg-uneg. “Bukankah tulisan story ini juga bagian dari tulisan yang bisa dikembangkan?!”. Meskipun tulisan story atau disebut juga caption itu dicap sebagai tulisan anak “bucin”, bukankah bahasa syair ataupun pantun seringkali juga terasa alay. Dengan gaya bahasa yang melayang-layang bak dunia milik berdua seorang penyair mampu mencampuradukkan perasaan pembacanya hingga membuat baper.
Umumnya saat kita membuat story bisa lebih dari sekali, bisa jadi sehari tiga kali, lima kali, sepuluh kali, atau bahkan lebih. Baik itu di sosial media WA, IG, Twitter, FB, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebuah peluang?. Coba kita renungkan, semisal tulisan-tulisan sederhana yang kita post di berbagai platform sosial media itu kita kembangkan akan berapa banyak tulisan yang tercipta?. Tak perlu muluk-muluk berlembar-lembar. Untuk sebuah story kita jabarkan cerita yang menyertai kejadian dibalik story itu dalam satu lembar kertas atau 2-3 paragraf saja itu sudah cukup. Dan saat tulisan-tulisan itu kita kumpulkan bukankah akan menjadi sebuah karya yang bisa dibukukan kan?. Iya to?! Iya to?!
Tapi, tunggu dulu, bukankah tulisan caption yang kita post di story hanyalah ungkapan sederhana dan terdakang hanya sebuah jokes. Akankah tulisan yang sepele itu layak untuk menjadi bahan bacaan?. Tentu saja layak!. Mengapa bisa layak?. Bahan bacaan bukanlah semata-mata tulisan yang membahas suatu hal dengan serius dan tajam hingga membuat kepala pening. Adakalanya kita juga membutuhkan bahan bacaan yang ringan dan make fun untuk menyeimbangkan porsi pikiran kita. Pun bukankah banyak bahan bacaan dengan genre humor kan?!.
Justru, bahan bacaan yang ringan dan bernuansa riang merupakan salah satu alternatif upaya menanamkan kebudayaan gemar membaca. Saat kita mampu mengemas jokes atau gurauan kita yang biasanya kita post di story dan menjadikannya bahan bacaan hal ini justru akan mempercepat laju pertumbuhan bahan bacaan bagi masyarakat. Tak perlu berekspektasi terlalu tinggi bahwa seorang penulis buku adalah seorang pemikir tingkat dewa yang mengulas suatu permasalahan setajam “silet”. Percaya dengan kemampuan kita sendiri, jadilah diri sendiri, dan jadikan tulisan yang sederhana itu sebagai bagian dari sedekah kita, knowledge sharing kita.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan bahan bacaan di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal membangun literasi bukan hanya soal semangat untuk membaca. Lebih dari itu, membangun literasi layaknya membangun sebuah rumah. Saat kita akan membangun rumah kita juga perlu modal untuk membangun rumah tersebut. Baik itu material pasir, batu, semen, dan lain sebagainya. Jika kita hanya punya semangat untuk membangun rumah tanpa adanya bahan material tersebut, maka rumah itu selamanya hanya akan menjadi khayalan semata.
Buku sebagai bahan bacaan merupakan salah satu bahan material pokok untuk membangun literasi. Baik itu buku cerita, buku eksiklopedia, bahkan buku mewarnai anak sekalipun. Dengan tersedianya bahan bacaan yang melimpah dan mudah dijangkau daya beli masyarakat terhadap bahan bacaan akan meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah bahan bacaan yang tersedia disekitar kita, baik di rumah, di sekolah, bahkan di pasar sekalipun lambat laun kebudayaan gemar membaca akan terbentuk di masyarakat.
Namun sebelum itu, permasalahan yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adalah siapakah yang akan menulis?. Jika penulis yang diandalkan hanya itu-itu saja sudah pasti akan terjadi penumpukan beban. Perlu adanya regenerasi dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk memperkaya khazanah bahan lliterasi di bumi pertiwi. Tidak harus seorang penulis professional agar bisa menambah kekayaan bahan lietrasi. Siapapun bisa menulis. “Storyku adalah tulisanku”, bisa jadi menjadi sebuah jargon yang menarik untuk menarik penulis-penulis pemula agar mau mempersembahkan karyanya untuk membangun literasi di bumi pertiwi.
Apapun tulisan yang akan kita tulis pastilah tulisan itu akan memiliki makna dan suatu saat akan bermanfaat. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”, maka jangan ragu untuk memulai menulis. Dimulai dengan tulisan-tulisan sederhana dari story kita. Sesederhana dan sesedikit apapun berusahalan untuk tetap menulis. Agar tahap demi tahap menulis akan kita lalui dan suatu saat barulah kita menyadari bahwa kita telah layak untuk mendapat predikat “penulis”.
Tentunya hasil tulisan kita jangan hanya kita simpan di laptop atau di harddisk saja.  Tulisan kita juga perlu untuk kita publikasikan. Salah satu upaya publikasi tersebut adalah melalui penerbitan. Suka tidak suka memang perkembangan industri penerbitan di Indonesia masih belum stabil. Ditambah dengan aturan administratif yang terkadang menghambat proses penerbitan.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada jalan. Salah satu alternatif penerbitan yaitu melalui penerbit indie. Proses administratif dan pendanaan yang bisa disepakati bersama menjadikan penerbitan indie sebagai poros produksi bahan literasi yang patut untuk didukung. Terlebih kita juga bisa menerbitkan tulisan hasil karya kita sendiri. Pastinya akan menjadi suatu kebanggaan apabila kita bisa menerbitkan buku yang mencantumkan nama kita sebagai penulisnya.
Selain untuk media publikasi, penerbitan karya buku juga bertujuan untuk mendaftarkan tulisan kita pada katalog induk milik perpusnas serta melindungi hak cipta tulisan kita. Adanya proses editing, layouting, dan desain cover juga turut membantu mengemas tulisan kita agar lebih menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, apapun tulisan kita jangan ragu untuk mempublikasikannya. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”

0 komentar:

Posting Komentar