Recent Post

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 26 November 2019

Pemustaka Canggih Tanggap Berita Hoax

(sumber gambar: blogmahasiswakeren.blogspot.com)

Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi maka terjadilah yang namanya era keberlimpahan informasi, atau bahasa kerennya adalah Abundance Age. Era keberlimpahan informasi adalah era dimana terjadi banjir informasi. Banjir informasi ini bukan berarti lembaran-lembaran koran membanjiri rumah kita layaknya banjir air. Bukan berarti pula era banjir informasi ini era dimana setiap hari kita digembar-gembor kan dengan informasi (ya benarpun bisa jadi juga seperti ini sih gambarannya).

Era Abundance yang sedang kita hadapi adalah informasi yang tak kasat mata. Jika kita bayangkan kita sedang berada di ruangan kosong dan kita sendirian, padahal sebenarnya kira tidak sendirian. Kita tengah dibanjiri oleh aliran informasi digital yang tak kasat mata dan sedang berseliweran melewati kita. Saat kita membuka koneksi internet melalui laptop, kompoter atau gawai kita, maka seketika banjir itu beralih ke perangkat-perangkat tersebut.

Selanjutnya adalah, ibarat sedang mencari ikan di kolam, kolam yang mulanya jernih dan terlihat ikannya kini dipenuhi dengan sampah. Kolah itu sudah tidak jernih dan pasti kita akan kesulitan untuk menangkap ikan dalam kolam tersebut. Bahkan tidak menurut kemungkinan kita bahkan akan salah sangka yang kita kira ikan ternyata adalah sampah.

Begitu halnya dengan informasi di dunia maya. Karena peningkatan jumlah pengguna smartphone dan pengguna internet yang pada akhirnya  meningkatkan jumlah unggahan status di data cloud, maka terjadilah banjir informasi itu tadi. Ibarat banjir itu membawa sampah karena membawa informasi yang tidak bermanfaat, maka keruhlah kolam itu, dan informasi bermanfaat dan berbobot yang mulanya terlihat jelas menjadi samar dan bahkan bias bercampur dengan informasi sampah.

Oleh karena nya, sebagai pengguna kita harus bisa memilah dan memilih mana informasi yang baik dan valid dan mana yang tidak. Informasi yang baik tanpa ada validasi tak ubahnya berita bohong. Informasi valid tapi tidak baik pun tak ubahnya api yang disulutkan pada sabut yang mudah terbakar. Pengguna yang bijak dan tau cara membedakan informasi yang baik dan valid akan membantu menekan tingkat penyebaran berita hoax.

Sebenarnya ada beberapa langkah sederhana untuk menguji validitas suatu informasi, lebih tepatnya ada delapan langkah yang telah disepakati oleh The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA). Untuk mempermudah pemahaman tentang 8 langkah bisa juga nih baca di sini.


Kamis, 21 November 2019

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA


Note: Tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan dalam ajang sayembara penulisan esai bulan oktober lalu. Reward nya memang tidak ada sih, pun saya juga tidak terlalu berharap pada materi. Tapi jika semisal tulisan ini diterima maka akan diterbitkan dalam bentuk buku ontologi oleh pihak penyelenggara. Penyelenggaranya juga merupakan penerbit buku yang merayakan hari jadi penerbit tersebut, dan sayembara esai yang mereka adakan mereka maksudkan sebagai salah satu upaya untuk menumbuh kembangkan literasi di bumi pertiwi. Sayangnya, tulisan saya masih belum cukup bagus, sehingga tidak lolos seleksi. Tapi ketimbang tulisan ini hanya menguap di angan dan hanya "dongkrok" dilaptopku, mending tulisan ini saya post di blog saya. Semalat membaca :) 
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _  _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _

KARENA SETIAP TULISAN ADALAH ISTIMEWA
Oleh: Khabibul Umam

Pernah suatu ketika saya menuliskan story WA yang agak “nyleneh bin bucin”. “Kutulisakan doaku untukmu”, itulah caption yang saya tuliskan di story WA. Sontak teman-teman yang melihat story saya pada komen. Ada yang komen bucin lah, ada yang kepo soal siapa yang tak maksud “mu” pada caption itu, ada yang “uluh-uluuuh”, dan reaksi-reaksi yang beraneka ragam dari teman saya. Sejenak saya berpikir bukankah wajar jika di usia 20-an dan memasuki semester akhir kita memunculkan sesuatu yang aneh dan unik sebagai upaya untuk menarik perhatian dan pencarian jati diri. Selama tidak bertolak belakang dengan norma agama maunpun norma sosial sah-sah saja kan?!.
Sejenak saya mencoba merenungkan kembali story WA yang sudah saya post, dan muncul sebuah uneg-uneg. “Bukankah tulisan story ini juga bagian dari tulisan yang bisa dikembangkan?!”. Meskipun tulisan story atau disebut juga caption itu dicap sebagai tulisan anak “bucin”, bukankah bahasa syair ataupun pantun seringkali juga terasa alay. Dengan gaya bahasa yang melayang-layang bak dunia milik berdua seorang penyair mampu mencampuradukkan perasaan pembacanya hingga membuat baper.
Umumnya saat kita membuat story bisa lebih dari sekali, bisa jadi sehari tiga kali, lima kali, sepuluh kali, atau bahkan lebih. Baik itu di sosial media WA, IG, Twitter, FB, dan lain sebagainya. Bukankah ini sebuah peluang?. Coba kita renungkan, semisal tulisan-tulisan sederhana yang kita post di berbagai platform sosial media itu kita kembangkan akan berapa banyak tulisan yang tercipta?. Tak perlu muluk-muluk berlembar-lembar. Untuk sebuah story kita jabarkan cerita yang menyertai kejadian dibalik story itu dalam satu lembar kertas atau 2-3 paragraf saja itu sudah cukup. Dan saat tulisan-tulisan itu kita kumpulkan bukankah akan menjadi sebuah karya yang bisa dibukukan kan?. Iya to?! Iya to?!
Tapi, tunggu dulu, bukankah tulisan caption yang kita post di story hanyalah ungkapan sederhana dan terdakang hanya sebuah jokes. Akankah tulisan yang sepele itu layak untuk menjadi bahan bacaan?. Tentu saja layak!. Mengapa bisa layak?. Bahan bacaan bukanlah semata-mata tulisan yang membahas suatu hal dengan serius dan tajam hingga membuat kepala pening. Adakalanya kita juga membutuhkan bahan bacaan yang ringan dan make fun untuk menyeimbangkan porsi pikiran kita. Pun bukankah banyak bahan bacaan dengan genre humor kan?!.
Justru, bahan bacaan yang ringan dan bernuansa riang merupakan salah satu alternatif upaya menanamkan kebudayaan gemar membaca. Saat kita mampu mengemas jokes atau gurauan kita yang biasanya kita post di story dan menjadikannya bahan bacaan hal ini justru akan mempercepat laju pertumbuhan bahan bacaan bagi masyarakat. Tak perlu berekspektasi terlalu tinggi bahwa seorang penulis buku adalah seorang pemikir tingkat dewa yang mengulas suatu permasalahan setajam “silet”. Percaya dengan kemampuan kita sendiri, jadilah diri sendiri, dan jadikan tulisan yang sederhana itu sebagai bagian dari sedekah kita, knowledge sharing kita.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan bahan bacaan di Indonesia masih tergolong rendah. Padahal membangun literasi bukan hanya soal semangat untuk membaca. Lebih dari itu, membangun literasi layaknya membangun sebuah rumah. Saat kita akan membangun rumah kita juga perlu modal untuk membangun rumah tersebut. Baik itu material pasir, batu, semen, dan lain sebagainya. Jika kita hanya punya semangat untuk membangun rumah tanpa adanya bahan material tersebut, maka rumah itu selamanya hanya akan menjadi khayalan semata.
Buku sebagai bahan bacaan merupakan salah satu bahan material pokok untuk membangun literasi. Baik itu buku cerita, buku eksiklopedia, bahkan buku mewarnai anak sekalipun. Dengan tersedianya bahan bacaan yang melimpah dan mudah dijangkau daya beli masyarakat terhadap bahan bacaan akan meningkat. Seiring dengan meningkatnya jumlah bahan bacaan yang tersedia disekitar kita, baik di rumah, di sekolah, bahkan di pasar sekalipun lambat laun kebudayaan gemar membaca akan terbentuk di masyarakat.
Namun sebelum itu, permasalahan yang perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adalah siapakah yang akan menulis?. Jika penulis yang diandalkan hanya itu-itu saja sudah pasti akan terjadi penumpukan beban. Perlu adanya regenerasi dan partisipasi aktif dari semua pihak untuk memperkaya khazanah bahan lliterasi di bumi pertiwi. Tidak harus seorang penulis professional agar bisa menambah kekayaan bahan lietrasi. Siapapun bisa menulis. “Storyku adalah tulisanku”, bisa jadi menjadi sebuah jargon yang menarik untuk menarik penulis-penulis pemula agar mau mempersembahkan karyanya untuk membangun literasi di bumi pertiwi.
Apapun tulisan yang akan kita tulis pastilah tulisan itu akan memiliki makna dan suatu saat akan bermanfaat. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”, maka jangan ragu untuk memulai menulis. Dimulai dengan tulisan-tulisan sederhana dari story kita. Sesederhana dan sesedikit apapun berusahalan untuk tetap menulis. Agar tahap demi tahap menulis akan kita lalui dan suatu saat barulah kita menyadari bahwa kita telah layak untuk mendapat predikat “penulis”.
Tentunya hasil tulisan kita jangan hanya kita simpan di laptop atau di harddisk saja.  Tulisan kita juga perlu untuk kita publikasikan. Salah satu upaya publikasi tersebut adalah melalui penerbitan. Suka tidak suka memang perkembangan industri penerbitan di Indonesia masih belum stabil. Ditambah dengan aturan administratif yang terkadang menghambat proses penerbitan.
Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada jalan. Salah satu alternatif penerbitan yaitu melalui penerbit indie. Proses administratif dan pendanaan yang bisa disepakati bersama menjadikan penerbitan indie sebagai poros produksi bahan literasi yang patut untuk didukung. Terlebih kita juga bisa menerbitkan tulisan hasil karya kita sendiri. Pastinya akan menjadi suatu kebanggaan apabila kita bisa menerbitkan buku yang mencantumkan nama kita sebagai penulisnya.
Selain untuk media publikasi, penerbitan karya buku juga bertujuan untuk mendaftarkan tulisan kita pada katalog induk milik perpusnas serta melindungi hak cipta tulisan kita. Adanya proses editing, layouting, dan desain cover juga turut membantu mengemas tulisan kita agar lebih menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, apapun tulisan kita jangan ragu untuk mempublikasikannya. “Karena setiap tulisan adalah istimewa”

Kamis, 14 November 2019

Andaikan Hidupku Adalah Perpustakaan


(sumber gambar: maxmanroe.com)

Pernah suatu ketika saya mendapatkan tugas dari dosen saya untuk mengutarakan uneg-uneg saya soal perpustakaan masa depan. Tugas ini adalah tugas individu, itu artinya teman sekelas saya juga mendapatkan tugas yang sama. Gagasan kami diketik pada selembar  kertas A4, tidak boleh lebih. Dengan line spacing 1,5 pt tentunya hanya akan mengasilkan beberapa paragraph saja, tidak lebih dari 5 paragraf idealnya.

Awalnya saya sempat kebingungan, perpustakaan seperti apa yang akan muncul di masa depan. Batin saya, boro-boro mikir masa depan perpustakaan, masa depan saya dengan orang yang saya taksir aja belum kepikiran, haha. Tapi ya namanya tugas mau gimana lagi, tetep harus dikerjakan.

Karena masih bingung soal konsep “perpustakaan masa depan” kemudian saya buka sosmed, sedekar cek story, cek postingan, like sana like sini. Yang terlintas di benak saya sewaktu saya “bermain” dengan sosial media adalah informasi. “kalau saya sendiri saja sehari ada 10 postingan, 3 postingan di story wa, 2 postingan di story ig, 3 postingan di story fb, 2 postingan di twitter, itu pun kadang bisa lebih, itupun baru saya seorang, itupun baru sehari, atau bahkan baru beberapa jam, bagaimana dengan orang di seluruh dunia. Akan berapa banyak informasi yang tersebar di media sosial tersebut. Dan yang saya pikirkan lagi adalah “informasi”, "bukan kah perpustakaan juga mengelola informasi?”.

Dari situlah ide saya  untuk menuliskan konsep “perpustakaan masa depan” untuk memenuhi tugas kuliah saya tadi.

Judul yang saya berikan untuk tulisan tersebut adalah “Library in Life”. Kemedian konsep yang saya gambarkan di sana adalah dimana setiap saat kita berhadapan dengan informasi, terutama informasi yang tidak terstruktur dari postingan-postingan sosmed tadi. Dan saat data yang tidak terstruktur tersebut kita manfaatkan maka taraaa, jadilah perpustakaan yang terintegrasi dalam kehidupan kita. Ibarat media sosial adalah perpustakaannya, kita adalah pemustaka sekaligus pustakawannya, dan bahan pustakanya adalah postingan itu tadi.

Terdengar aneh memang. Entah dosen saya sepakat dengan tulisan saya apa tidak, hehe. Saya pun juga pernah membuat karya  tulis ilmiah dengan teman pemanfaatan media sosial untuk memenuhi lima tugas pokok perpustakaan, pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi, dan yaa saya di debat oleh juri dan di sangkal “Mas, media sosial itu kan tidak ilmiah, mana mungkin bisa media sosial untuk memenuhi tugas pokok perpustakaan?!!”. “media sosial pada dasarnya adalah media komunikasi Bu, dan di dalam komunikasi itu sendiri apapun bisa kita masukkan, mau ajakan, larangan, bahkan informasi pun jg bisa dimuat di media sosial. Dan melihat pangsa pasarnya yang beragam tentunya akan memperluas layanan dari perpustakaan itu sendiri” kurang lebih itulah jawaban yang saya berikan.

Yaah, namanya juga “andaikan”. Entah benar apa tidak waktulah yang akan menjawab. Sama halnya saat orang beranggapan bahwa besi tidak bisa terbang ataupun terapung di air nyatanya sekarang kemustahilan itu nyata adanya.

Minggu, 03 November 2019

Bookless Library dan Makerspace: Selayang Pandang Perpustakaan Masa Depan


(sumber gambar: en.wikipedia.org)

Saya memposting tulisan ini dengan maksud untuk memberikan stimulant mengenai perpustakaan masa depan. Tujuannya agar pikiran kita tidak hanya stagnan di masa kini atau bahkan masa lalu (Yaah karena mengenang masa lalu itu berat lhur, apalagi kalau ujung-ujung nya “mantan”, beeeeeeeh).

Pada tulisan-tulisan sebelumnya saya lebih banyak menggambarkan keadaan perpustakaan yang ideal pada masa kini. So, apakah kita hanya akan hidup pada masa kini saja?, Tidak kan...!!!, siap tidak siap suka tidak suka kita tengah menuju masa depan. Dan apa yang sudah kita persiapkan untuk menuju masa depan tersebut?. Jangan menjawab dengan jawaban “lihat sikon”, “ngalir aja”, atau bahkan “tidak tahu” (tak Sledding nek jawabanmu kayak gitu -_-).

Masa depan bukanlah sebuah kebetulan. Masa depan adalah perencanaan. Apa yang kita rencanakan dan persiapkan sekarang ini ya itulah masa depan.

Btw pembahasan yang saya post di bawah adalah salah satu tulisan saya yang saya kirimkan untuk mengikuti lomba opini dengan tema "Perpustakaan Masa Depan". Dan alhamdulillahnya tulisan itu gagal keluar jadi finalis. Sesuai dengan tulisan saya pada blog Umam Scrip dengan judul  "Tulisan ke-19 ~ Saat kita GAGAL dalam menulisJadi kan tulisan di bawah ini gagal masuk nominasi jadi bisa saya post di sini deh :D, sebagai bahan sharing pada teman-teman PemustaKawan.





berikut adalah pembahasannya. 

Bookless Libraries: Makerspace-nya Kawula Milenial

Oleh: Khabibul Umam
umamkhabibulmade@gmail.com

Era disrupsi yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi memberikan dampak yang signifikan bagi kehidupan manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia mengalami perubahan akibat era disrupsi tersebut. Demikian juga yang terjadi di perpustakaan. Jika dulu kita hanya bisa mengakses perpustakaan saat kita berkunjung ke perpustakaan, di era digital sekarang ini kita bisa mengakses perpustakaan dari manapun, kapanpun, dan dimanapun. Baik melakukan pemesanan koleksi, perpanjangan mandiri, bahkan pada digital library peminjaman koleksi dapat dilakukan via online.
Tidak hanya layanan, koleksi perpustakaan, bahkan pola struktur keorganisasian perpustakaan juga mengalami pergeseran dari manual beralih ke digital. Maka, jangan kaget apabila ada sebuah ruang atau area yang tidak ada bukunya sama sekali namun disebut perpustakaan. Yap. Bisa jadi perpustakaan tersebut mengusung konsep Bookless Library. Dikutip dari en.wikipedia (Bookless library, 2019), “Bookless libraries are public, academic and school libraries that do not have any printed books.”. Bookless Libraries diartikan dengan perpustakaan publik, perpustakaan akademik, atau perpustakaan sekolah yang tidak memiliki koleksi buku cetak. Koleksi cetak perpustakaan digantikan dengan koleksi digital yang disimpan dalam komputer yang disedikan di ruang perpustakaan. Dengan demikian, ruang yang dulunya digunakan untuk meletakkan buku-buku cetak akan kosongkan dan diisi dengan beberapa komputer saja.
Jika semua koleksi cetak perpustakaan dialihkan ke bentuk digital, bukankah ruang perpustakaan akan menjadi luas karena hanya diisi dengan komputer dan perangkat digital lain untuk mengakses koleksi digital? Ya. Lalu area seluas itu akan diapakan? Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka? Akankah memberikan manfaat yang lebih positif daripada perpustakaan konvensional?
Menilik pada tren kawula milenial yang gemar berselancar dan bersosial ria di media sosial tentunya konsep Bookless Libraries akan sangat potensial untuk diterapkan. Mengapa bisa demikian?. Terdapat beberapa alasan kuat yang menjawab pertanyaan tersebut di atas (paragraf 3). Adapun alasan-alasan atau jawaban dari pertanyaan tersebut di atas yaitu sebagai berikut.

Area seluas itu akan diapakan?
Area perpustakaan yang dulunya berupa deretan rak buku diganti dengan meja diskusi, meja kerja, dan area produktif dengan menyediakan seperangkat komputer dengan spesifikasi yang bagus. Selain itu, juga disediakan perangkat pendukung lain seperti speaker, microphone, dan kamera. Dengan tersedianya perlengkapan-perlengkapan tersebut, ruang perpustakaan tersebut akan sangat berpotensi untuk dijadikan area makerspace kawula milenial. Melalui perlengkapan-perlengkapan tersebut kawula milenial dapat membuat video, merekam suara, membuat seni grafis, dan lain sebagainya yang akan mendukung mereka untuk produktif dalam membuat karya digital. Terlebih dengan fasilitas wifi, pastinya mereka akan leluasa dalam mencari ide, membuat, dan menyebarluaskan karya digital mereka.

Apakah akan menarik minat kunjung pemustaka?
Salah satu tren kawula milenial adalah mencari spot foto yang unik menarik untuk dijadikan background kenarsisan mereka. Istilah trennya adalah instagramable. Bahkan kawula milenial rela bepergian berpuluh-puluh kilometer dengan mengorbankan waktu, bbiaya, dan tenaga hanya untuk dapat bersoto pada spot yang unik dan menarik tersebut. Dengan mengusung konsep Bookless Libraries dan menghias ruang perpustakaan sedemikian unik dan menariknya, tentunya ruang Bookless Libraries tersebut akan berpotensi untuk menjadi salah satu tujuan spot foto kawula milenial. Menurut Sitompul dalam idntimes.com Instagram bagi anak muda zaman sekarang merupakan sosial media paling penting. Banyak sekali anak muda yang sangat memperhatikan feeds instagramnya, foto apa yang harus di post di akun instagramnya supaya kelihatan bagus dan estetik (Sitompul, 2017).

Akankah memberikan manfaat yang lebih positif daripada perpustakaan konvensional?
Konsep makerspace yang diadukan dengan Bookless Libraries tersebut akan memberikan dampak yang lebih signifikan bila dibandingkan dengan perpustakaan konvensional. Dari segi efisiensi ruangan, perpustakaan konvensional hanya berfungsi untuk media penyimpanan koleksi saja, sedanngkan pada Booklees Libraries ruang perpustakaan tidak hanya sekedar tempat menyimpan, namun juga sekaligus tempat untuk membuat atau mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat dari koleksi perpustakaan. Dari segi estimasi dana, perpustakaan konvensional akan selalu membutuhkan banyak dana untuk mengadakan pengembangan koleksi, penambahan rak, dan administrasi pengadaan. Sedangkan pada Bookless Libraries, perpustakaan dapat menambahkan koleksinya dari internet semaksimal mungkin. Koleksi tersebut bisa didapat dari referensi yang open access di internet. Dari segi  pengelolaan, perpustakaan konvensional membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menjaga agar koleksi tersebut tetap berada pada posisinya di rak. Sedangkan pada bookless libraries pengelolaan koleksi akan lebih mudah karena tidak perlu mengangkat dan memindahkannya, cukup membuka dan menutup file yang digunakan oleh pemustaka.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, benarlah apabila Bookless Libraries sangat potensial sebagai makerspace-nya kawula milenial. Apabila Bookless Libraries tersebut dapat diterapkan tentunya akan menarik kawula milenial untuk mengunjunginya.



References

Bookless library. (2019, Juli 13). Retrieved September 19, 2019, from Wikipedia: The Free Encyclopedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Bookless_library
Sitompul, A. (2017, juni 23). 5 Alasan Kenapa Coffee Shop Jadi Tempat Nongkrong Favorit Millennials. Retrieved September 19, 2019, from idntimes.com: https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/agifthya-sitompul/coffee-shop-jadi-tempat-nongkrong-millennials-c1c2/full